Sejarah Singkat Gereja HKI
HOERIA CHRISTEN BATAK ( H.CH.B )
ADALAH GEREJA MANDIRI YANG PERTAMA
1. Berdiri 01 Mei 1927
Sejak Tahun 1907 sudah ada jemaat yang dirikan
oleh RMG di Pematang Siantar (Jalan Gereja sekarang), dan jemaat ini menjadi pusat
utama para Misioner RMG di Sumatera Timur. Akan tetapi, warga Jemaatnya banyak
yang tersebar disekitar pinggiran kota Pematang Siantar, termasuk daerah
pantoan yang jaraknya kurang lebih 04 km dari gereja ini. Jemaat di Pantoan ini
berjumlah 25 KK, termasuk F. Sutan Malu
Panggabean salah seorang warga sekaligus tokoh masyarakat.
Mempertimbangkan sulitnya beribadah ke Gereja
di Pematang Siantar dengan Jalan kaki, maka F. Sutan Malu Panggabean (yang
adalah lulusan Sekolah Guru Seminari Sipaholon tahun 1909) mengusulkan agar
didirikan satu jemaat baru di Pantoan. Usul ini ditolak oleh Pdt. R. Scheneider
(Missionari RMG) di Gereja Pematang Siantar.
Sejalan dengan lahirnya hari kebangkitan
Nasional melalui pendirian Budi Utomo pada tanggal 20 Mei 1908 dan didorong
oleh keinginan kemandirian Gereja dari RMG, serta penolakan mendirikan Jemaat
Baru di Pantoan oleh Misionaris RMG di Pematang Siantar, adalah menjadi salah
satu alasan untuk mendirikan satu gereja baru di Pantoan yang kemudian disebut
Hoeria Christen Batak (H.Ch.B).
Sebenarnya, sejak tahun 1927, F.P.Sutan Malu
sudah mulai melakukan kebaktian Minggu dirumahnya di daerah Pantoan Pematang
Siantar. Akan tetapi, baru pada tanggal 01 April 1927 membuat surat
pemberitahuan resmi kepada pemerintahan. Alasan utama mendirikan Gereja ini
(disamping alasan yang disebut di atas) dinyatakan oleh F. Sutan Malu
Panggabean pada waktu beliau ditanyai oleh Pejabat Pemerintah Simalungun,
adalah Firman Tuhan yang tertulis dalam Yakobus 1:22 : “Tetapi hendaklah kamu menjadi
pelaku Firman dan bukan hanya pendengar saja jika tidak demikian kamu menipu
diri sendiri”. Dari alasan yang dikemukakan ini nampak dengan jelas bahwa
pendirian Gereja HChB yang memperluas namanya menjadi HKI adalah untuk
menyelenggarakan Pekabaran Injil (Marturia), persekutuan (Koinonia), dan
Pelayanan Kasih (Diakonia).
2. Perkembangan Mula-mula
Sambutan masyarakat Kristen Batak terhadap
H.Ch.B di Pematang Siantar dan sekitarnya sangat luar biasa. Dalam kurun waktu
relative singkat (8 Tahun), yaitu pada masa 1927-1930 terdapat 5 Jemaat dengan
220 Kepala Keluarga, dan pada masa 1931-1933 jumlahnya bertambah menjadi 47
Jemaat dan pada masa 1933-1935 jumlahnya sudah mencapai lebih dari 170 Jemaat.
Dari daerah Pematang Siantar dan sekitarnya, pada masa 1931-1942, Gereja HChB
sudah menyebar sampai ke Daerah Deli Serdang, Tapanuli didaerah Humbang,
Sipahutar, Pangaribuan, Silindung sekitarnya, Patane Porsea atau Toba Holbung
sekitarnya, Tapanuli Selatan, Tapanuli Tengah, Sidikalang, atau Dairi
sekitarnya, Tanah Alas dan sekitarnya. Seperti telah disebutkan diatas, bahwa
gerakan kemandirian Gereja itu tidak hanya terjadi diPematang Siantar dan
sekitarnya, tetapi juga di Medan. Demikianlah pada tanggal 5 Agustus 1928 oleh
123 orang warga jemaat RMG mendirikan satah satu Jemaat baru di Medan yang
disebut “Hoeria Christen Batak Medan Parjolo” (HChB Medan I). Karena banyak
yang tidak senang atas pendirian Gereja Baru ini, maka kelompok yang tidak
senang ini menamai mereka “Partai 123”. Sebutan ini dimaksud untuk mendiskreditkan
Gereja Baru ini sebagai partai politik bukan Gereja. Jermaat inilah yang
menjadi jemaat HKI jalan Dahlia Medan sekarang. Semua jemaat-jemaat diharuskan
menyelenggarakan Pendidikan kepada anak-anak setingkat sekolah dasar.
3. Rechtperson dan Hak Menyelenggarakan Sakrament
H.Ch.B yang disebut-sebut oleh orang-orang yang
tidak menyukainya sebagai kumpulan Partai Politik sangat menderita. Karena HChB
tidak diakui sebagai Gereja, maka tidak diberi hak melayankan sacrament
(Babtisan dan Perjamuan Kudus) oleh pemerintahan Belanda. Atas dasar ini maka
Pimpinan HChB Voorzitter F. Sutan Maloe Panggabean dan Secretaris I.M Titoes
Lumban Gaol memohon Rechtperson dan izin melayankan sacrament kepada Gubernur
Jenderal Hindia Belanda di Jakarta pada tanggal 09 September 1929 dan disusul
tanggal 01 Agustus 1931. Akan tetapi jawaban dari Pemerintah Belanda tidak
kunjung tiba.
Karena permohonan-permohonan tidak ditanggapi,
maka diputuskan untuk mengutus Voorzitter F. Sutan Maloe Panggabean langsung
menghadap Gebernur Jenderal di Jakarta. Biaya yang dibutuhkan f. 250 (sama
dengan harga 310 kaleng beras). Untuk mengusahakan biaya ini ditugaskan
pengurus HChB Pantoan dan Dolok Merangir. Akan tetapi, mereka gagal untuk
mencarinya.
Seluruh jemaat-jemaat di Pematang Siantar dan
sekitarnya berdatangan ke Pantoan untuk mendoakan kepergian Voorzitter F. Sutan
Maloe Panggabean Pimpinan Gereja mereka agar Tuhan menyediakan biaya yang
dibutuhkan dan beliau dituntun, diperlengkapi, dikuatkan serta dipelihara oleh
Tuhan dalam perjalanannya. Mereka bernyanyi dan berdoa dengan deraian air mata.
Atas dasar keyakinan, Voorzitter F. Sutan Maloe
Panggabean berangkat ke Dolok Merangir dan besok paginya direncanakan berangkat
ke Belawan. Beliau sampai disana pukul 22.30 (malam). Sekretaris I M.T
LumbanGaol menginformasikan bahwa biaya yang dibutuhkan ke Batavia belum
diperoleh.
Dengan lebih dulu bernyanyi dan berdoa diiringi
dengan isakan tangis , dalam kegelapan malam Bapak M.T Lumban Gaol berangkat
lagi untuk mengusahakannya. Beliau kembali pada pukul 01.30 (pagi) dengan
membawa sejumlah uang yg dibutuhkan. seorang yang bukan warga gereja berkenan
meminjamkannya kepada bapak M.T Lumban Gaol. Inilah yang memungkinkan
keberangkatan Voorzitter F. Sutan Maloe Panggabean langsung menghadap Gebernur
Jenderal di Jakarta. Dengan diiringi doa dan air mata, seluruh warga Jemaat
melambaikan tangan untuk memberangkatkan Pimpinan Gereja nya ke Batavia.
Di Batavia, melalui bantuan seorang pengacara
yang bernama Mr. Hanif, Voorzitter F.P Sutan Malu Panggabean dapat menemui
Gubernur Jenderal Belanda di Bustenzorg (Bogor sekarang). Setelah dilakukan
rapat oleh pemerintah Belanda maka pada tanggal 27 Mei 1933 (dua hari
berikutnya) Rechtperson diberikan. Dan sepuluh hari berikutnya, izin melayankan
Sakrament juga diberikan oleh pemerintahan Hindia Belanda. Menyadari pentingnya
pelayan untuk melayankan Sakrament maka pata tahun 1933 Voorzitter F.P Sutan
Malu Panggabean ditahbiskan menjadi Pendeta.
4. Perluasan Nama HChB Menjadi HKI
Atas kesadaran perluasan misi Gereja dan atas kesadaran bahwa HChB
bukan hanya untuk berada di Tanah Batak Saja, maka pada Synode tanggal 16-17
November 1946 nama HChB (Huria Christen Batak) diperluas menjadi HKI (Huria
Kristen Indonesia). Dalam Synode ini juga dipilih Voorzitter (Ketua Pucuk
Pimpinan yang baru) Pdt. T.J Sitorus. Beliau inilah yang memimpin HKI sampai
Juli tahun 1978 (32 Tahun).
Akan tetapi sangat disayangkan, setelah selesai
Synode, ada beberapa Jemaat dan Pendeta yang menyatakan ketidaksetujuannya pada
perluasan nama ini. Mereka terpisah dari HKI dan tetap memakai nama HChB, yang
kemudian diubah menjadi “Gereja Batak Kristen (GKB). Baru pada tanggal 26
Agustus 1976 Sinode GKB menyatakan diri bergabung
kembali dengan HKI.
5. Kegiatan Oikumenis
a. TERISOLASI SELAMA 40 TAHUN
Seperti disebutkan di atas, bahwa
Badan Zending RMG tidak mengakui HChB (HKI) sebagai Gereja. Oleh
sebab itu, selain dari mempengaruhi Pemerintahan Hindia Belanda untuk
mempersulit Gereja HChB memperoleh Rechtperson dan izin melayankan sacrament,
juga menghambat HChB (HKI) memasuki Badan-Badan Oikumenis di Indonesia dan
Internasional selama 40 Tahun. Selama 40 Tahun ini HChB (HKI) sangat menderita.
Semua Perguruan Teologia di Indonesia tertutup untuk HChB (HKI). Dengan
kemampuannya yang terbatas, HChB (HKI) mendidik para Pelayannya (Pendeta, Guru
Jemaat, Bibelvrow dan Evangelis) selama 40 Tahun. HKI juga tidak menerima
bantuan apapun dari gereja-Gereja dalam dan Luar Negeri. Gereja HKI benar-benar
berdiri sendiri dalam daya, dana dan teologia. Selama 40 tahun ini juga, HChB
(HKI) mencatat tiga kali kemelut internal (masa
1934-1942; 1946; 1959-1964). Akan tetapi oleh anugerah Tuhan pemilik Gereja itu
dan dilandasi oleh semangat kemandirian, Gereja
HChB (HKI) dapat menyelesaikan sendiri masalah internalnya.
B. DITERIMA DALAM KEGIATAN OIKUMENIS.
Setelah bergumul dalam doa dan melalui
pendekatan-pendekatan yang sangat melelahkan, maka pada Sidang Dewan
Gereja-Gereja Indonesia (DGI) tanggal 29 Oktober 1967 di Makasar (Ujung
Pandang) HKI diterima menjadi Anggota DGI. Sejak HKI diterima menjadi Anggota DGI sekarang menjadi PGI, terbukalah pintu bagi HKI untuk Persekutuan
Gereja-Gereja Internasional. Sekarang HKI adalah salah satu Gereja Anggota di
CCA, LWF, WCC, UEM dan memiliki hubungan yang baik dengan Gereja-Gereja di
Indonesia dan
Gereja-Gereja Manca Negara misalnya ELCA
(AMerika), LCA (Australia), Gereja Rheinland dan Wesfalia di Jerman, dan secara
khusus memiliki hubungan Partnership dengan K.K Hamm Jerman.
C. Gereja Protestan
pertama dalam “manjomput na sinurat”.
Kita wajar memuji Tuhan dengan
nyanyian yang baru karena dalam sinode Periode HKI yang ke 61 di Suka Makmur,
tanggal 18-23 Agustus 2016 HKI telah menerapkan sistem undi atau “manjomput na
sinurat” untuk mengetahui siapa yang dihunjuk Sang Kepala Gereja untuk memimpin
dan menggembalakan warga HKI. Ephorus dan Sekretaris Jenderal (Sekjen) didapat
melalui cara doa dan undi. HKI muncul sebagai gereja Protestan yang pertama di
dunia dalam memakai sistem “manjomput na sinurat”. Warga jemaat HKI menyaksikan
hasilnya, muzijat Tuhan nyata, damai dan kesatuan mengalir diantara sinodisten
dan warga HKI. Kenyataan historis ini telah membuat HKI, 2 kali menjadi pelaku
sejarah dalam kedewasaan hidup bergeraja. Pertama : 1 Mei 1927 HKI berdiri
sebagai gereja mandiri di Indonesia. Kedua : Sinode HKI 28-23 Agustus 2015, HKI
menjadi Gereja Protestan di dunia yang menerapkan sistem doa dan undi atau
manjomput na sinurat dalam memilih pimpinan di HKI. “Pujilah Tuhan hai jiwaku”.
Amin.
6. Keadaan Sekarang
Dalam umurnya yang ke 89 tahun ini, HKI sudah tersebar di persada nusantara yaitu Sumatera,
Jawa, Bali dan Kalimantan. Warga jemaatnya kurang lebih 355.000 jiwa dan
tersebar di 781 Jemaat, 164 Resort, dan 12 Distrik/ Daerah. Dilayani oleh 202 orang Pendeta, 781 Orang
Guru Jemaat
20 orang diantaranya full time, 6.248
orang sintua, 8 orang bibelvrow dan 6 Orang Diakones.
7. PENUTUP
Melihat kesetiaan Tuhan menuntun HChB yang memperluas
nama-nya menjadi HKI selama 89 Tahun ini, maka
kita patut beryukur kepada Tuhan serta mengevaluasi secara jujur dihadapan
Tuhan sudah sejauh mana kemaksimalan pelayanan kita selama ini di HKI. Untuk
kemudian bersama membangun pelayanan di HKI ini. Ingatlah bahwa motivasi dan
dasar mendirikan HChB atau HKI ini seperti yang tertulis di Yakobus 1:22 yang
mengatakan : “Tetapi hendaklah kamu menjadi pelaku Firman dan bukan hanya pendengar saja; sebab
jika tidak demikian, kamu menipu diri sendiri”.
Tuhan memberkati.
Pucuk Pimpinan HKI
Ephorus : Pdt. M. Pahala, S.Th,
MM
Tidak ada komentar:
Posting Komentar