Rabu, 06 April 2016

Sejarah SIngkat Gereja HKI



Sejarah Singkat Gereja HKI

HOERIA CHRISTEN BATAK ( H.CH.B )
 ADALAH GEREJA MANDIRI YANG PERTAMA


1. Berdiri 01 Mei 1927
Sejak Tahun 1907 sudah ada jemaat yang dirikan oleh RMG di Pematang Siantar (Jalan Gereja sekarang), dan jemaat ini menjadi pusat utama para Misioner RMG di Sumatera Timur. Akan tetapi, warga Jemaatnya banyak yang tersebar disekitar pinggiran kota Pematang Siantar, termasuk daerah pantoan yang jaraknya kurang lebih 04 km dari gereja ini. Jemaat di Pantoan ini berjumlah 25 KK,  termasuk F. Sutan Malu Panggabean salah seorang warga sekaligus tokoh masyarakat.
Mempertimbangkan sulitnya beribadah ke Gereja di Pematang Siantar dengan Jalan kaki, maka F. Sutan Malu Panggabean (yang adalah lulusan Sekolah Guru Seminari Sipaholon tahun 1909) mengusulkan agar didirikan satu jemaat baru di Pantoan. Usul ini ditolak oleh Pdt. R. Scheneider (Missionari RMG) di Gereja Pematang Siantar.
Sejalan dengan lahirnya hari kebangkitan Nasional melalui pendirian Budi Utomo pada tanggal 20 Mei 1908 dan didorong oleh keinginan kemandirian Gereja dari RMG, serta penolakan mendirikan Jemaat Baru di Pantoan oleh Misionaris RMG di Pematang Siantar, adalah menjadi salah satu alasan untuk mendirikan satu gereja baru di Pantoan yang kemudian disebut Hoeria Christen Batak (H.Ch.B).
Sebenarnya, sejak tahun 1927, F.P.Sutan Malu sudah mulai melakukan kebaktian Minggu dirumahnya di daerah Pantoan Pematang Siantar. Akan tetapi, baru pada tanggal 01 April 1927 membuat surat pemberitahuan resmi kepada pemerintahan. Alasan utama mendirikan Gereja ini (disamping alasan yang disebut di atas) dinyatakan oleh F. Sutan Malu Panggabean pada waktu beliau ditanyai oleh Pejabat Pemerintah Simalungun, adalah Firman Tuhan yang tertulis dalam Yakobus 1:22 : “Tetapi hendaklah kamu menjadi pelaku Firman dan bukan hanya pendengar saja jika tidak demikian kamu menipu diri sendiri”. Dari alasan yang dikemukakan ini nampak dengan jelas bahwa pendirian Gereja HChB yang memperluas namanya menjadi HKI adalah untuk menyelenggarakan Pekabaran Injil (Marturia), persekutuan (Koinonia), dan Pelayanan Kasih (Diakonia).

2. Perkembangan Mula-mula
Sambutan masyarakat Kristen Batak terhadap H.Ch.B di Pematang Siantar dan sekitarnya sangat luar biasa. Dalam kurun waktu relative singkat (8 Tahun), yaitu pada masa 1927-1930 terdapat 5 Jemaat dengan 220 Kepala Keluarga, dan pada masa 1931-1933 jumlahnya bertambah menjadi 47 Jemaat dan pada masa 1933-1935 jumlahnya sudah mencapai lebih dari 170 Jemaat. Dari daerah Pematang Siantar dan sekitarnya, pada masa 1931-1942, Gereja HChB sudah menyebar sampai ke Daerah Deli Serdang, Tapanuli didaerah Humbang, Sipahutar, Pangaribuan, Silindung sekitarnya, Patane Porsea atau Toba Holbung sekitarnya, Tapanuli Selatan, Tapanuli Tengah, Sidikalang, atau Dairi sekitarnya, Tanah Alas dan sekitarnya. Seperti telah disebutkan diatas, bahwa gerakan kemandirian Gereja itu tidak hanya terjadi diPematang Siantar dan sekitarnya, tetapi juga di Medan. Demikianlah pada tanggal 5 Agustus 1928 oleh 123 orang warga jemaat RMG mendirikan satah satu Jemaat baru di Medan yang disebut “Hoeria Christen Batak Medan Parjolo” (HChB Medan I). Karena banyak yang tidak senang atas pendirian Gereja Baru ini, maka kelompok yang tidak senang ini menamai mereka “Partai 123”. Sebutan ini dimaksud untuk mendiskreditkan Gereja Baru ini sebagai partai politik bukan Gereja. Jermaat inilah yang menjadi jemaat HKI jalan Dahlia Medan sekarang. Semua jemaat-jemaat diharuskan menyelenggarakan Pendidikan kepada anak-anak setingkat sekolah dasar.

3. Rechtperson dan Hak Menyelenggarakan Sakrament
H.Ch.B yang disebut-sebut oleh orang-orang yang tidak menyukainya sebagai kumpulan Partai Politik sangat menderita. Karena HChB tidak diakui sebagai Gereja, maka tidak diberi hak melayankan sacrament (Babtisan dan Perjamuan Kudus) oleh pemerintahan Belanda. Atas dasar ini maka Pimpinan HChB Voorzitter F. Sutan Maloe Panggabean dan Secretaris I.M Titoes Lumban Gaol memohon Rechtperson dan izin melayankan sacrament kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda di Jakarta pada tanggal 09 September 1929 dan disusul tanggal 01 Agustus 1931. Akan tetapi jawaban dari Pemerintah Belanda tidak kunjung tiba.
Karena permohonan-permohonan tidak ditanggapi, maka diputuskan untuk mengutus Voorzitter F. Sutan Maloe Panggabean langsung menghadap Gebernur Jenderal di Jakarta. Biaya yang dibutuhkan f. 250 (sama dengan harga 310 kaleng beras). Untuk mengusahakan biaya ini ditugaskan pengurus HChB Pantoan dan Dolok Merangir. Akan tetapi, mereka gagal untuk mencarinya.
Seluruh jemaat-jemaat di Pematang Siantar dan sekitarnya berdatangan ke Pantoan untuk mendoakan kepergian Voorzitter F. Sutan Maloe Panggabean Pimpinan Gereja mereka agar Tuhan menyediakan biaya yang dibutuhkan dan beliau dituntun, diperlengkapi, dikuatkan serta dipelihara oleh Tuhan dalam perjalanannya. Mereka bernyanyi dan berdoa dengan deraian air mata.
Atas dasar keyakinan, Voorzitter F. Sutan Maloe Panggabean berangkat ke Dolok Merangir dan besok paginya direncanakan berangkat ke Belawan. Beliau sampai disana pukul 22.30 (malam). Sekretaris I M.T LumbanGaol menginformasikan bahwa biaya yang dibutuhkan ke Batavia belum diperoleh.
Dengan lebih dulu bernyanyi dan berdoa diiringi dengan isakan tangis , dalam kegelapan malam Bapak M.T Lumban Gaol berangkat lagi untuk mengusahakannya. Beliau kembali pada pukul 01.30 (pagi) dengan membawa sejumlah uang yg dibutuhkan. seorang yang bukan warga gereja berkenan meminjamkannya kepada bapak M.T Lumban Gaol. Inilah yang memungkinkan keberangkatan Voorzitter F. Sutan Maloe Panggabean langsung menghadap Gebernur Jenderal di Jakarta. Dengan diiringi doa dan air mata, seluruh warga Jemaat melambaikan tangan untuk memberangkatkan Pimpinan Gereja nya ke Batavia.
Di Batavia, melalui bantuan seorang pengacara yang bernama Mr. Hanif, Voorzitter F.P Sutan Malu Panggabean dapat menemui Gubernur Jenderal Belanda di Bustenzorg (Bogor sekarang). Setelah dilakukan rapat oleh pemerintah Belanda maka pada tanggal 27 Mei 1933 (dua hari berikutnya) Rechtperson diberikan. Dan sepuluh hari berikutnya, izin melayankan Sakrament juga diberikan oleh pemerintahan Hindia Belanda. Menyadari pentingnya pelayan untuk melayankan Sakrament maka pata tahun 1933 Voorzitter F.P Sutan Malu Panggabean ditahbiskan menjadi Pendeta.

4. Perluasan Nama HChB Menjadi HKI
Atas kesadaran perluasan misi Gereja dan atas kesadaran bahwa HChB bukan hanya untuk berada di Tanah Batak Saja, maka pada Synode tanggal 16-17 November 1946 nama HChB (Huria Christen Batak) diperluas menjadi HKI (Huria Kristen Indonesia). Dalam Synode ini juga dipilih Voorzitter (Ketua Pucuk Pimpinan yang baru) Pdt. T.J Sitorus. Beliau inilah yang memimpin HKI sampai Juli tahun 1978 (32 Tahun).
Akan tetapi sangat disayangkan, setelah selesai Synode, ada beberapa Jemaat dan Pendeta yang menyatakan ketidaksetujuannya pada perluasan nama ini. Mereka terpisah dari HKI dan tetap memakai nama HChB, yang kemudian diubah menjadi “Gereja Batak Kristen (GKB). Baru pada tanggal 26 Agustus 1976 Sinode GKB menyatakan diri bergabung kembali dengan HKI.

5. Kegiatan Oikumenis

a. TERISOLASI SELAMA 40 TAHUN

Seperti disebutkan di atas, bahwa Badan Zending RMG tidak mengakui HChB (HKI) sebagai Gereja. Oleh sebab itu, selain dari mempengaruhi Pemerintahan Hindia Belanda untuk mempersulit Gereja HChB memperoleh Rechtperson dan izin melayankan sacrament, juga menghambat HChB (HKI) memasuki Badan-Badan Oikumenis di Indonesia dan Internasional selama 40 Tahun. Selama 40 Tahun ini HChB (HKI) sangat menderita. Semua Perguruan Teologia di Indonesia tertutup untuk HChB (HKI). Dengan kemampuannya yang terbatas, HChB (HKI) mendidik para Pelayannya (Pendeta, Guru Jemaat, Bibelvrow dan Evangelis) selama 40 Tahun. HKI juga tidak menerima bantuan apapun dari gereja-Gereja dalam dan Luar Negeri. Gereja HKI benar-benar berdiri sendiri dalam daya, dana dan teologia. Selama 40 tahun ini juga, HChB (HKI) mencatat tiga kali kemelut internal (masa 1934-1942; 1946; 1959-1964). Akan tetapi oleh anugerah Tuhan pemilik Gereja itu dan dilandasi oleh semangat kemandirian, Gereja HChB (HKI) dapat menyelesaikan sendiri masalah internalnya.

 

B. DITERIMA DALAM KEGIATAN OIKUMENIS.

Setelah bergumul dalam doa dan melalui pendekatan-pendekatan yang sangat melelahkan, maka pada Sidang Dewan Gereja-Gereja Indonesia (DGI) tanggal 29 Oktober 1967 di Makasar (Ujung Pandang) HKI diterima menjadi Anggota DGI. Sejak HKI diterima menjadi Anggota DGI sekarang menjadi PGI, terbukalah pintu bagi HKI untuk Persekutuan Gereja-Gereja Internasional. Sekarang HKI adalah salah satu Gereja Anggota di CCA, LWF, WCC, UEM dan memiliki hubungan yang baik dengan Gereja-Gereja di Indonesia dan Gereja-Gereja Manca Negara misalnya ELCA (AMerika), LCA (Australia), Gereja Rheinland dan Wesfalia di Jerman, dan secara khusus memiliki hubungan Partnership dengan K.K Hamm Jerman.

C. Gereja Protestan pertama dalam “manjomput na sinurat”.
Kita wajar memuji Tuhan dengan nyanyian yang baru karena dalam sinode Periode HKI yang ke 61 di Suka Makmur, tanggal 18-23 Agustus 2016 HKI telah menerapkan sistem undi atau “manjomput na sinurat” untuk mengetahui siapa yang dihunjuk Sang Kepala Gereja untuk memimpin dan menggembalakan warga HKI. Ephorus dan Sekretaris Jenderal (Sekjen) didapat melalui cara doa dan undi. HKI muncul sebagai gereja Protestan yang pertama di dunia dalam memakai sistem “manjomput na sinurat”. Warga jemaat HKI menyaksikan hasilnya, muzijat Tuhan nyata, damai dan kesatuan mengalir diantara sinodisten dan warga HKI. Kenyataan historis ini telah membuat HKI, 2 kali menjadi pelaku sejarah dalam kedewasaan hidup bergeraja. Pertama : 1 Mei 1927 HKI berdiri sebagai gereja mandiri di Indonesia. Kedua : Sinode HKI 28-23 Agustus 2015, HKI menjadi Gereja Protestan di dunia yang menerapkan sistem doa dan undi atau manjomput na sinurat dalam memilih pimpinan di HKI. “Pujilah Tuhan hai jiwaku”. Amin.

6. Keadaan Sekarang

Dalam umurnya yang ke 89 tahun ini, HKI sudah tersebar di persada nusantara yaitu Sumatera, Jawa, Bali dan Kalimantan. Warga jemaatnya kurang lebih 355.000 jiwa dan tersebar di 781 Jemaat, 164 Resort, dan 12 Distrik/ Daerah. Dilayani oleh 202 orang Pendeta, 781 Orang Guru Jemaat 20 orang diantaranya full time,  6.248 orang sintua,  8 orang bibelvrow dan 6 Orang Diakones.

7. PENUTUP
Melihat kesetiaan Tuhan menuntun HChB yang memperluas nama-nya menjadi HKI selama 89 Tahun ini, maka kita patut beryukur kepada Tuhan serta mengevaluasi secara jujur dihadapan Tuhan sudah sejauh mana kemaksimalan pelayanan kita selama ini di HKI. Untuk kemudian bersama membangun pelayanan di HKI ini. Ingatlah bahwa motivasi dan dasar mendirikan HChB atau HKI ini seperti yang tertulis di Yakobus 1:22 yang mengatakan : “Tetapi hendaklah kamu menjadi pelaku Firman dan bukan hanya pendengar saja; sebab jika tidak demikian, kamu menipu diri sendiri”.
Tuhan memberkati.

Pucuk Pimpinan HKI
Ephorus : Pdt. M. Pahala, S.Th, MM

Tidak ada komentar:

Posting Komentar